Oleh : Idris Nawawi
Kekhusyukan dan kekhidmatan bangsa jin dalam
menyambut bulan suci Ramadhan sungguh teramat menakjubkan. Seperti
apakah gambarannya…?
Semerbak wangi kasturi yang dihembuskan lewat semilir
angin surgawi, memancarkan cahaya nuraniyah semua sifat alam, sebagai
suatu penghormatan dari seluruh mahluk yang diciptakanNya. Semesta alam
bertahmil dan bertahmid dalam kebesaranNya, menyambut datangnya bulan
suci yang penuh pahala dan keberkahan.
Keindahan dan kemuliaan di dalam bulan ini sesungguhnya sebagai pengangkat derajat bagi semua hamba yang beriman. Para malaikat, ahli surga, bangsa jin serta para manusia saling berlomba dalam mengisi keimanan hati lewat pujian serta lantunan ayat suci Al Qurían, yang menggema keberbagai belahan jagat raya.
Malam Lailatul Qodar dengan sejuta kenikmatan, menjelma pula turun ke
bumi di bulan nan mulia ini. Semua malaikat bersujud syukur mendo’akan
semua manusia agar di hari akhir nanti, mereka mendapatkan syafa’at dari
Nabi Muhammad SAW.Dari berbagai kenikmatan
yang ada di bulan suci Ramadhan, Allah SWT juga memberikan keistimewaan
bagi para ahli siksa kubur. Konon, mereka yang di masa hidupnya sebagai
seorang durjana, munafik, para dholim dan sebagainya, dan dari
kekhilafan yang mereka perbuat sehingga Allah SWT menyiksanya dengan
panasnya api neraka serta cambuk ganas sang malaikat Munkar dan Nakir,
namun berkat kesucian dan safa’at bulan suci ini, mereka semua diangkat
dan diberhentikan dari semua kepedihan siksa kubur.
Lantas, untuk siapakah bulan sejuta pahala ini diciptakan? Tentu tiada
lain, untuk semua makhluk yang banyak berbuat maksiat, tarutama dalam
hal ini adalah jin dan manusia. Karena sesunggunya Allah SWT sangat
mencintai semua hambanya agar terhapus segala dosa dan kesalahan, maka
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menghadirkan bulan suci yang
penuh syafa’at ini. Semoga kita semua terhindar dari azab siksa kubur
yang sangat mengerikan.
Dalam Al Qur’an Allah SWT menerangkan firmanNya lewat sebuah ayat yang berbunyi: “WAMAA KHOLAKTUL JINNA WAL INSA ILLAA LIYA’BUDUUN.”
Yang kurang lebih artinya: “Sesungguhnya Allah menciptakan adanya
makhluk bumi antara jin dan manusia tiada lain hanya untuk beribadah
kepadaKu.”
Dari arti ayat tersebut sudah jelas sekali bahwa baik bangsa jin maupun manusia banyak sekali kekurangan dalam hal beribadah, sehingga Allah SWT memperingatkan keduanya untuk selalu beriman, bertakwa, dan selalu berada di jalan yang di ridhoiNya.
Dari arti ayat tersebut sudah jelas sekali bahwa baik bangsa jin maupun manusia banyak sekali kekurangan dalam hal beribadah, sehingga Allah SWT memperingatkan keduanya untuk selalu beriman, bertakwa, dan selalu berada di jalan yang di ridhoiNya.
Kini pertanyaannya, samakah ibadahnya antara bangsa jin dengan manusia itu?
Dalam hal ketakwaan maupun ibadah, semua tidak ada perbedaan. Dengan kata lain, baik bangsa jin maupun manusia sama memegang hukum Islam dari ajaran Nabiyullah Muhammad SAW, yaitu akidah syara’iah dan akidah tauhid. Hanya saja karena keterbatasan dari perbedaan kondisi alam dan dimensi kehidupan, maka membuat manusia seperti kita tidak pernah mengerti akan segala aktifitas bangsa jin, karena memang makhluk yang tidak kasat mata.
Kisah-kisah mengenai bangsa jin sendiri banyak disinggung di berbagai
“Kitab Kuning,” atau buku-buku Islam karangan para ulama di abad
pertengahan. Salah satu di antaranya adalah dalam Tafsir Sowi.
Dalam kitab tersebut, tepatnya pada halaman 252 diterangkan asal-usul dari bangsa jin. Mereka berasal dari keturunan bangsa iblis atau Banul Jan yang tercipta dari sebuah bara api. Dari kelammnya keturunan atau moyang mereka, Allah SWT memberikan nilai lebih bagi bangsa jin yang telah insyaf atau bertaubat kepadaNya.
Dalam kitab tersebut, tepatnya pada halaman 252 diterangkan asal-usul dari bangsa jin. Mereka berasal dari keturunan bangsa iblis atau Banul Jan yang tercipta dari sebuah bara api. Dari kelammnya keturunan atau moyang mereka, Allah SWT memberikan nilai lebih bagi bangsa jin yang telah insyaf atau bertaubat kepadaNya.
Di antara kelebihan tersebut, semua bangsa jin yang boleh bertaubat
mereka tak akan lagi berbuat dholim kepadaNya, dan semua tergolong ahli
surga di kemudian hari nanti, bersama dengan pengikut setia Kanjeng
Rasullah SAW.
Kisah ibadahnya bangsa jin memang sulit dibuktikan karena bersifat gaib.
Namun tentunya, bagi orang-orang pilihan mudah saja untuk masuk dan
melihat keberadaan alam jin beserta para penghuniya. Semua akibat
kemampuan supranaturalis mereka, tentunya.
Disamping itu, ada juga orang-orang tertentu yang diberi hidayah oleh
Allah SWT, sehingga tanpa melalui proses belajar dirinya bisa
berinteraksi dengan bangsa jin. Memang, kasus semacam ini sangatlah
langka.
Sebagai pembuktian tentang ibadahnya bangsa jin, Penulis kali ini akan menceritakan sepenggal kisah nyata yang saya alami sendiri. Perisnya berlangsung pada tahun 1999 silam, tepatnya tujuh hari sebelum menjelang tibanya bulan Ramadhan nan suci mulia.
Sebagai pembuktian tentang ibadahnya bangsa jin, Penulis kali ini akan menceritakan sepenggal kisah nyata yang saya alami sendiri. Perisnya berlangsung pada tahun 1999 silam, tepatnya tujuh hari sebelum menjelang tibanya bulan Ramadhan nan suci mulia.
Pada waktu itu, kehidupan Penulis memang tengah karut marut dalam
perekonomian. Akibat usaha perniagaan batik yang jatuh pailit terbadai
krisis ekonomi, banyak sekali utang kepada klien yang belum dapat
terlunasi. Akibatnya, aku selalu dicari oleh beberapa penagih. Karena
kondisi tersebut, ditambah lagi akibat kehidupan yang tiada seimbang,
maka akhirnya membuatku nekad untuk menjalani ritual mendatangkan dana
gaib yang pernah diajarkan oleh seorang guru ilmu gaib kepadaku.
Mulanya, Penulis memang sedikit ragu untuk melakukan ritual nyleneh yang
sulit dibuktikan keabsahannya ini. Namun, tekanan demi tekanan yang
datang bertubi-tubi, toh akhirnya memaksa saya untuk berbulat tekad.
Pada suatu hari, kusiapkan berbagai sarana untuk pemanggilan gaib. Agar
bertambah khidmat, sengaja kupinjam juga rumah kosong kepunyaan temanku
yang sudah lama tidak ditempati karena rusak.
Singkat cerita, malam itu dengan tanpa penerangan sedikitpun, Penulis memulai ritual dengan suatu tekad mencapai keberhasilan. Sebelum mendapatkan sesuatu, aku berjanji pada diri sendiri akan terus berpuasa siang maupum malam, sehingga apa yang kupinta bener-bener menjelma di hadapanku.
Menjelang malam yang ketiga, sebuah sinar terang tiba-tiba masuk di kamar tempatku berkhalwat. Lambat laun, cahaya tersebut menjelma menjadi dua sosok manusia berusia tua. Ya, mungkin usianya sekitar 60 tahunan. Penampilan mereka sangat bersahaja.
Mereka memberi salam kepadaku, dan aku menyambutnya dengan takzim. Lalu,
mereka berbicara dengan penuh wibawa, sehingga membuatku tertegun dan
tidak bisa berkata walau sepatahpun.
“Wahai anak manusia, jangan kau teruskan untuk meminta yang bukan menjadi milikmu. Ingat, bulan suci akan datang, sambutlah dengan kekhusukan beribadalah!” Kata Bapak yang satu.
“Wahai anak manusia, jangan kau kotori bulan yang penuh kesucian ini dengan keduniawian yang tiada berpahala. Ingat, keagungan bulan suci ini lebih nikmat dan lebih besar pahalanya dibanding dengan semua alam semesta!” Kata Bapak yang satunya.
“Wahai anak manusia, jangan kau teruskan untuk meminta yang bukan menjadi milikmu. Ingat, bulan suci akan datang, sambutlah dengan kekhusukan beribadalah!” Kata Bapak yang satu.
“Wahai anak manusia, jangan kau kotori bulan yang penuh kesucian ini dengan keduniawian yang tiada berpahala. Ingat, keagungan bulan suci ini lebih nikmat dan lebih besar pahalanya dibanding dengan semua alam semesta!” Kata Bapak yang satunya.
Begitulah kurang lebih kata-kata mereka, dan setelah itu mereka raib dari pandanganku.
Setelah raibnya mereka, Penulis baru tersentak kaget. Ternyata semua yang terjadi bukanlah hanya mimpi, melainkan kenyataan. Dengan Kebesaran dan KemahakuasaanNya, Allah SWT telah mempertemukan aku dengan kedua makhlukNya yang agung itu.
Setelah raibnya mereka, Penulis baru tersentak kaget. Ternyata semua yang terjadi bukanlah hanya mimpi, melainkan kenyataan. Dengan Kebesaran dan KemahakuasaanNya, Allah SWT telah mempertemukan aku dengan kedua makhlukNya yang agung itu.
Tapi benarkah apa yang dikatakan oleh kedua sosok Bapak yang baru
belakangan kuketahui sebagai utusan dari bangsa jin itu, bahwa
keduniawiaan yang kuharapkan sesungguhnya tidak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengan nikmat berpuasa di bulan Ramadhan?
Sifat-sifat kemanusiaan Penulis selaku manusia yang serakah dan selalu penasaran ternyata meragukan perkataan bijak itu. Ya, walau saya sudah diperingati agar jangan meneruskan ritual mengambil dana di alam gaib, namun pada akhirnya saya tetap saja membandel.
Sifat-sifat kemanusiaan Penulis selaku manusia yang serakah dan selalu penasaran ternyata meragukan perkataan bijak itu. Ya, walau saya sudah diperingati agar jangan meneruskan ritual mengambil dana di alam gaib, namun pada akhirnya saya tetap saja membandel.
Dengan benak yang kotor dan penuh hasrat duniawi, saya kemudian malah
menterjemahkan bahwa kedatangan kedua sosok menyerupai Bapak-bapak tadi,
yang tentu saja berasal dari bangsa gaib, adalah suatu cobaan bagi
seorang ritualis. Dan hal tersebut sebagai pertanda keberhasilan yang
akan diraih.
Setelah berpikir demikian, tepatnya sekitar setengah jam setelah fenomena gaib itu terjadi, maka pada malam yang sama penulis kembali melakukan ritualnya. Bahkan kali ini dengan semangat yang kian membara, karena merasa yakin bahwa keberhasilan sudah nampak di depan mata.
Setelah berpikir demikian, tepatnya sekitar setengah jam setelah fenomena gaib itu terjadi, maka pada malam yang sama penulis kembali melakukan ritualnya. Bahkan kali ini dengan semangat yang kian membara, karena merasa yakin bahwa keberhasilan sudah nampak di depan mata.
Mungkin karena sikapku yang menentang ini, maka membuat kedua mahluk
dari alam lain itu sangat marah kepadakku. Buktinya, baru sekitar 10
menit aku memulai ritual dengan melafadzkan mantera-mantera dan dzikir,
maka tiba-tiba kedua sosok makhluk itu mengangkat tubuhku, lalu
membawaku terbang dengan kecepatan seperti layaknya kilat.
Tak dapat Penulis lukiskan dengan kata-kata bagaimana kecepatan dan
suasana perjalanan itu. Yang pasti, ternyata mereka membwaku ke sebuah
alam padang pasir yang dipenuhi oleh berjuta manusia, atau setidaknya
makhluk-makhluk yang menyerupai manusia.
Penulis terpana melihat suasana yang serba aneh dan menakjubkan itu.
Terlebih ketika kudengar gemuruh suara mereka melantunkan ayat-ayat suci
Al Qur’an, yang sepertinya menggema ke seluruh jagat raya. Sikap mereka
yang khusyuk dan tawadhu membuat hatiku tergetar, sehingga tak terasa
air mataku jatuh menitik. Betapa indah perkumpulan para jamaah yang
mendambakan makna syafaat itu. Setidak kulihat jelas dari raut muka para
jemaah itu yang seluruhnya bercahaya kemilau.
Di saat Penulis diajak berjalan-jalan di antara para jamaah itu, saya
juga melihat para ibu serta anak-anak yang ikut bergerombol bersama kaum
lelaki dewasa. Mereka semuanya melantunkan Sholawat badar, serta
menyambut gempita dengan seruan: “marhaban ahlan ya syahru romdhon min afdholin niímat”, yang artinya: “Selamat datang wahai bulan suci ramadhan yang penuh kenikmatan.”
Dari perhelataan akbar para jamaah yang seluruhnya berpakaian putih
kemilau itu, penulis kemudian dijak oleh kedua orang yang membawaku,
yang kemudian kuketahui ternyata bernama Muhammad Suaib Al Bar’ah dan
Muhammad Ya’kub Al Ajro, ke sebuah masjid yang sangat indah. Karena
begitu indahnya sehingga sulit bagiku untuk melukiskannya dengan
kata-kata. Yang pasti, masjid ini kemilau dihiasi oleh batu-batu alam
yang seumur hidup tak pernah kulihat di alam dunia ini.
Yang membuatku semakin takzim, sehingga air mataku tak pernah berhenti
menitik, adalah ketika kulihat orang-orang di dalam masjid itu
seluruhnya terdiam sambil menunduk khusyuk. Mereka sepertinya sedang
terlena dalam indahnya pendekata diri pada Sang Maha Kuasa, Allah SWT.
Setelah diajak berkeliling masjid yang indah tiada tara itu, Muhammad
Suaib Al Bar’ah dan Muhammad Ya’kub Al Ajro, yang keduanya di alam jin
memiliki kedudukan sebagai ulama, kembali menarik tanganku, lalu
membawaku kembali terbang dengan kecepatan laksana kilat. Sekejap
kemudian, Penulis merasakan sekujur tubuh menjadi dingin. Aneh, saat
membuka mata, ternyata kudapatkan diriku berada di dekat sungai di
sebuah perkampungan kumuh yang ada di pinggiran Cirebon. Waktu itu
keadaan masih tengah malam buta.
Mengapa aku tidak kembali di salah satu kamar di dalam rumah kosong
milik temanku yang semula kujadikan tempat berkhalwat? Mengapa aku
dikembalikan oleh Muhammad Suaib Al Bar’ah dan Muhammad Ya’kub Al Ajro
ke alam nyata dengan mengambil lokasi di tengah perkampungan kumuh dan
di tepi sungai yang berair sangat kotor?
Kenyataan inilah yang membuatku tersadar bahwa sesungguhnya kenikmatan
yang utama adalah kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsu, sehingga
apapun yang sedang kita hadapi akan selalu terasa nikmat dibuatnya.
Perkampungan kumuh agaknya dimaksudkan bahwa masih banyak anak manusia
yang keadaannya lebih buruk dariku. Sedangkan sungai comberan rupanya
sebuah simbol bahwa kehidupan ini seperti air bening, yang akan kotor
dengan sendirinya bila kita memang mengotorinya dengan dosa-dosa.
Tengah malam nan pekat itu, dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku pulang ke rumahku yang amat bersahaja dengan berjalan tertatih-tatih. Kedatanganku langsung disambut isak tangis keluarga dan isteri tercinta. Kata mereka, sudah dua hari aku menghilang.
“Sewaktu aku mengantar makanan dan minuman untuk Kakang berbuka puasa, ternyata Kakang sudah tidak ada lagi di rumah itu. Karenanya kami semua panik mencari-cari Kakang!” Demikian cerita isteriku.
Subhanallah! Hanya kalimat suci ini yang meluncur dari mulutku. Mengapa perjalanan yang terasa amat singkat itu ternyata telah memakan waktu 2X24 jam di alam manusia? Hanyalah Allah-lah yang tahu jawabannya.
Tengah malam nan pekat itu, dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku pulang ke rumahku yang amat bersahaja dengan berjalan tertatih-tatih. Kedatanganku langsung disambut isak tangis keluarga dan isteri tercinta. Kata mereka, sudah dua hari aku menghilang.
“Sewaktu aku mengantar makanan dan minuman untuk Kakang berbuka puasa, ternyata Kakang sudah tidak ada lagi di rumah itu. Karenanya kami semua panik mencari-cari Kakang!” Demikian cerita isteriku.
Subhanallah! Hanya kalimat suci ini yang meluncur dari mulutku. Mengapa perjalanan yang terasa amat singkat itu ternyata telah memakan waktu 2X24 jam di alam manusia? Hanyalah Allah-lah yang tahu jawabannya.
Dua hari Penulis menjelajahi ke alam jin dan melihat suasana mereka
menyambut Ramadhan, kuyakini sebagai sebuah hidayah Allah SWT yang
senantiasa memberi keberkahan kepada makhlukNya. Intinya, aku jadi paham
akan segala kehidupan alam jin. Dan pada akhirnya peristiwa gaib ini
membuatku semakin takwa dan tawadhu kepadaNya. Ya, Inya Allah…!
No comments:
Post a Comment